Category Archives: Tak Berkategori

SEJARAH DAMAS

( DAYA MAHASISWA SUNDA ) SEJARAH SINGKAT DAYA MAHASISWA SUNDA

1.1 Latar Belakang Situasi politik dalam negeri tahun 1950 memberikan dampak yang besar bagi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Sistem pemerintahan parlementer sarat pergantian kabinet yang cepat dalam kurun waktu enam tahun menunjukan instabilitas politik dalam negeri. Ketidakharmonisan yang terjadi antar partai politik dalam parlemen mengundang reaksi dari masyarakat luas. Ketidakharmonisan partai politik ditunjukan dengan mosi-mosi yang diberikan pada pemerintahan parlementer yang berkuasa. Perdana menteri pada setiap periode kepemimpinan rata-rata memimpin satu tahun, karena mosi tidak percaya dan langkah-langkah kebijakan yang dianggap salah oleh parlemen secara umum bahkan tidak jarang kabinet dijatuhkan oleh partai sendiri. Kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil oleh pemerintah daerah, juga menjadi penyebab tidak bertahan lamanya pemerintahan yang berkuasa. Kebijakan yang ada terutama mengenai perimbangan anggaran bagi daerah. Gerakan-gerakan di daerah dimunculkan oleh kaum muda daerah yang berusaha untuk menegakan kesejahteraan masyarakat daerah di bawah pemerintahan yang berdaulat dan merdeka. Pergerakan pemuda di Indonesia di awali dengan adanya kongres pemuda Indonesia tahun 1928 yang melahirkan sumpah pemuda. Ternyata perjuangan pemuda Indonesia tidak cukup sampai mencetuskan sumpah pemuda, tapi terlebih lagi pemuda yang mengatasnamakan Indonesia harus berusaha memajukan daerah sendiri.

1.2 Lahirnya Organisasi Damas Di Jawa Barat, tahun 1952 menjadi tonggak pertama lahirnya organisasi pemuda yang berbasis kedaerahan. Muncul organisasi Mitra Sunda, lalu Nonoman Sunda, dan kemudian muncul organisasi-organisasi pemuda Sunda lainnya. Organisasi pemuda berbasis Kesundaan tidak hanya lahir di Bandung, tetapi juga di Bogor, bahkan Jakarta. Penggerak organisasi pemuda di berbagai daerah di Jawa Barat adalah mereka yang berstatus mahasiswa. Para mahasiswa yang tersebar di berbagai perguruan tinggi yang ada di Jawa Barat dan Jakarta memiliki suatu keinginan yang besar yaitu menginnginkan berdirinya suatu perguruan tinggi yang dapat dijadikan tempat menuntut ilmu bagi para pemuda Sunda. Keinginan tersebut muncul karena mahasiswa yang menuntut ilmu di Fakultas Teknik dan Perguruan Tinggi Pendidikan guru yang berasal dari Jawa Barat yang merupakan tuan rumah sedikit. Tahun 1956 muncul gagasan untuk mendirikan suatu organisasi pemuda Sunda yang dapat mewadahi organisasi-organisasi yang ada dalam sebuah organisasi yang berbasis mahasiswa di Jawa Barat. Usaha menuju pembentukan organisasi mahasiswa kemudian digulirkan oleh beberapa mahasiswa di Bandung. Hasilnya pada tanggal 14 Oktober 1956 berdiri sebuah organisasi mahasiswa yang berbasis mahasiswa Sunda dengan nama Daya Mahasiswa Sunda (Damas).

1.3 Perkembangan Organisasi Damas Damas dalam kurun waktu 1956-1969 merupakan organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang politik, budaya, dan pendidikan. Bidang politik diterjuni sehubungan kondisi politik yang perlu dicermati dan dikritisi pada masa itu. Bidang budaya dicermati karena kecenderungan pemuda pada masa itu kurang perduli terhadap budaya daerah, sedangkan masalah pendidikan ditekuni karena tingkat kesadaran masyarakat pada waktu itu terhadap pendidikan khusunya budaya kurang. Konsep penerimaan serta pengkaderan anggota baru mengalami perubahan, tahun 1956-1960 konsep pernerimaan hanya sebatas menggunakan metode diskusi. Setelah maraknya perploncoan di kampus-kampus, Damas ikut merubah konsep penerimaan serta konsep pengkaderan anggota baru. Dalam kurun waktu 1956-1965 organisasi Damas hanya berada di Bandung, dalam artian kepengurusan serta keanggotaan baru terdapat di Bandung, lalu pada tahun 1965, lahir Damas Tasikmalaya. Munculnya Damas di kota lain tergantung permintaan dari mahasiswa yang ada di daerah bersangkutan. Pada tahun 1969, Damas melebarkan sayap dengan munculnya Damas cabang Garut dan Jakarta. Untuk mampermudah koordinasi antara Damas yang berada di beberapa kota kemudian muncul organisasi Pusat atau Puseur Damas yang berkedudukan di Bandung dengan cabang-cabang Bandung, Tasikmalaya, Garut, dan Jakarta. Lahirnya Puseur memungkinkan Damas lebih melebarkan sayap ke kota lainnya. Tahun 1976 muncul Damas Bogor, tahun 1985 bermunculan cabang-cabang di kota-kota Cirebon, Bekasi, Subang, Sumedang, Purwakarta, Ciamis, dan Sukabumi. Tahun 1988 muncul Damas Cianjur. Pada perkembangan organisasi Damas di Bandung lebih banyak pergerakannya terutama dalam politik dan budaya, bukan berarti di luar kota Bandung tidak ada kegiatan tetapi Damas Bandung lebih dikenal dibanding Damas yang ada di luar kota Bandung. Kegiatan-kegiatan seperti perlombaan Kabaya Endah, Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran, Drama Komedi Rakyat, Kawinan Senapati, Lomba Kereta Peti Sabun, Sepeda Santai, Pemilihan Raja Bendo dan Dyah Permata Pitaloka merupakan nilai jual bagi keberadaan Damas di Bandung. Tahun 1999 merupakan titik terendah dalam sejarah perkembangan organisasi Damas. Hal ini tercermin dari tidak adanya penerimaan anggota baru, tidak adanya kegiatan di cabang Bandung sebagai barometer bagi cabang kota lain selain Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran yang merupakan program rutin dua tahun sekali. Secara organisasi tahun 1999 Damas mati suri. Tahun 2001 merupakan langkah baru organisasi Damas dalam melanjutkan pergerakannya. Lapangan politik tentunya bukan hal yang dapat dipisahkan begitu saja dari Damas. Pada era 1980an dua nama pendiri Damas menjadi Bupati Daerah Tingkat II Cianjur, yaitu Adjat Sudradjat dan Arifin Joesoef. Jabatan lain yang pernah diemban yaitu Kepala BAPEDDA Jawa Barat oleh Arifin Joesoef. Memet H. Hamdan pernah menjabat sebagai sekretaris Daerah Kabupaten Purwakarta serta Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, dan Yus Ruslan Ahmad sebagai Wakil Kepala Dinas Pertambangan Jawa Barat. Nama-nama yang terjun dalam kancah politik sebagai birokrat bukan jaminan bagi Damas sebagai organisasi mahasiswa di Jawa Barat mendapat pujian dari masyarakat Sunda yang ada di Jawa Barat maupun yang ada di luar Jawa Barat. Popong Otje Djoendjoenan, Uu Rukmana, Cecep Rukmana, Lia Nur Hambali adalah aktivis organisasi Damas yang terjun ke dalam dunia politik praktis. Selain itu nama-nama Bubun Bunyamin, dan Misbach aktivis Tasikmalaya yang menjabat Walikota Tasikmalaya dan Bupati Sumedang. Molly Jubaedi pernah menjabat Walikota Sukabumi. Beberapa aktivis juga ikut merumuskan visi dan misi jawa barat 2010, mereka diantaranya adalah Dudi Efendy, Soedrajat Tisnasasmita, Yus Ruslan Ahmad, dan Ubun Kubarsah. Organisasi Damas merupakan salah satu organisasi mahasiswa yang masih bertahan dibanding organisasi-organisasi CSB, Mitra Sunda, Kujang Putra, dan Daya Nonoman Sunda.

1.4 Mimitran Pola penerimaan anggota baru di Damas dinamakan Mimitran yang berarti mimiti mimitraan, yang artinya pertama kali berteman. Konsep yang ada mengalami perubahan sejalan dengan perubahan konsep penerimaan mahasiswa baru di kampus-kampus. Mimitran terdiri dari tiga tahapan yang wajib dijalani oleh semua calon serta wajib dijalankan oleh Senat. Ketiga tahapan tersebut, yaitu: 1. Pra Mimitran, yaitu proses kampanye tentang keberadaan organisasi Damas sebagai organisasi mahasiswa yang bergerak di bidang Kesundaan. Kampanye dilakukan di lingkungan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan calon mahasiswa atau mahasiswa baru. Isi kampanye berupa Kedamasan dan Kesundaan secara tidak langsung melalui media Pagelaran Kesenian Tradisional, dan olah raga Pencak Silat.

2. Mimitran, yaitu proses pelaksanaan Mimitran yang dikemas dalam suatu acara secara terperinci dan detail dengan dilaksanakan oleh suatu kepanitiaan khusus.

3. Pasca Mimitran, yaitu pembinaan anggota baru agar lebih mamahami keberadaan Organisasi Damas baik fungsi maupun tujuannya di masyarakat. Mimitran pada awal berdirinya Damas adalah menggunakan metode diskusi yang berlangsung dalam tiga hari saja. Bahan-bahan diskusi yang dijadikan acuan dalam Mimitran mencakup lima hal, yaitu: 1. Wawasan nusantara 2. Kesundaan secara umum, meliputi: – Eksistensi Sunda di Indonesia – Sejarah Sunda – Tatakrama Sunda – Apresiasi seni dan budaya Sunda 3. Kedamasan, meliputi: – Sejarah berdirinya organisasi Damas – Perkembangan organisasi Damas 1956-1960 – Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi Damas – Hasil-hasil perjuangan organisasi Damas – Masalah khusus yang mambahas kewanitaan di dalam adat Sunda 4. Organisasi umum/kemahasiswaan, meliputi: – Kehidupan kemahasiswaan di indonesia – Organisasi kepemudaan – Latihan pidato dan diskusi 5. Keagamaan khusunya Islam Keseluruhan acara dalam Mimitran adalah merupakan hiburan.

Pagelaran seni dan budaya merupakan acara yang mendukung pada materi-meteri yang disampaikan dalam Mimitran. Materi yang ditambahkan dalam diskusi-diskusi Mimitran yang dianggap perlu sebagai bahan dalam pergaulan dengan dunia luar organisasi Damas. Materi meliputi masalah politik, sosial budaya, dan ekonomi. Konsep Mimitran dengan metode diskusi bertahan sampai tahun 1960 yang kemudian organisasi Damas menyesuaikan diri dengan perkembangan konsep penerimaan mahasiswa baru di kampus-kampus. Pada tahun 1961, setahun setelah pemberlakuan perploncoan di kampus-kampus organisasi Damas pun tak mau ketinggalan untuk merubah konsep Mimitrannya. Tidak tanggung-tanggung, Damas mengemas waktu dua minggu untuk penerimaan anggota barunya dengan jadual yang padat pula. Setiap hari terdiri dari dua pertemuan, pertama jam lima sampai jam sembilan pagi, dan kedua jam empat sore sampai jam 12 malam. Materi yang disampaikan lebih banyak mengenai tata krama yang ada dalam adat Sunda. Selain tata karma, aturan-aturan yang ada dalam organisasi Damas menjadi materi yang wajib di ikuti oleh para calon. Setelah berdirinya kepengurusan Puseur, konsep Mimitran yang diterapkan di semua cabang seragam. Tiga tahun pertama dalam kepengurusan Puseur, Mimitran semua cabang menginduk ke Cabang Bandung dalam konsep. Konsep yang kemudian dianggap ideal untuk dijadikan konsep Mimitran yang lebih menekankan sisi kebudayaan dilaksanakan pada tahun 1972. Kusmayatna, Kusman, serta beberapa anggota yang merupakan aktivis organisasi terutama dalam pergerakan kebudayaan memasukan ide-ide baru yang kemudian membawa Mimitran Damas menjadi sebuah kegiatan yang ditunggu-tunggu bukan hanya oleh kalangan mahasiswa saja, tetapi juga oleh masyarakata bandung pada khususnya, dan masyarakat yang terdapat di kota-kota yang terdapat Cabang Damas. Ide-ide yang dimasukan dalam konsep Mimitran tersebut antara lain pemilihan Senapati dan Senawati dengan menggunakan metode pagelaran kesenian, Kawinan Senapati yang disajikan dalam bentuk drama, Hajat Tujuh Bulanan dan Dunya Tibalik sebagai implementasi dari adat masyarakat Sunda dalam menjalani usia kandungan tujuh bulan, Ngabungbang yaitu acara yang dilaksanakan di alam terbuka atau berkemah, serta pemilihan Raja Bendo dan Dyah Permata Pitaloka.

JUMLAH ANGGOTA DAMAS DARI TAHUN 1956-2006 No Tahun Jumlah (orang) Keterangan

1 1956 450

2 1957 220

3 1958 203

4 1959 118

5 1960 144

6 1961 144

7 1962 174

8 1963 254

9 1964 25

1 0 1965 300

11 1966 290

12 1967 135

13 1968 200

14 1969 147

15 1970 156

16 1971 135

17 1972 146

18 1973 149

19 1974 305

20 1975 218

21 1976 121

22 1977 115

23 1978 – Tidak ada data

24 1979 – Tidak ada data

25 1980 – Tidak ada data

26 1981 – Tidak ada data

27 1982 – tidak ada mimitran

28 1983 136

29 1984 112

30 1985 83

31 1986 63

32 1987 88

33 1988 202

34 1989 104

35 1990 54

36 1991 40

37 1992 50

38 1993 26

39 1994 50

40 1995 26

41 1996 32

42 1997 21

43 1998 44

44 1999 – tidak ada mimitran

45 2000 7

46 2001 79

47 2002 78

48 2003 32

49 2004 50

50 2005 – tidak ada mimitran

51 2006 39

52 2007 16

Status keanggotan Damas dibatasi hingga 10 (sepuluh) tahun. Anggota Damas yang sudah melewati sepuluh tahun statusnya berubah menjadi Alumni Damas. Hingga tahun 2008 ini berarti angkatan yang statusnya masih anggota Damas (bukan alumni Damas) adalah angkatan 1999 – 2007 atau sekitar 301 orang.

Sejarah Sukabumi

Nama Soekaboemi sebenarnya telah ada sebelum hari jadi Kota Sukabumi yaitu 13 Januari 1815. Kota yang saat ini berluas 48,15 km2 ini asalnya terdiri dari beberapa kampung bernama Cikole dan Paroeng Seah, hingga seorang ahli bedah bernama Dr. Andries de Wilde menamakan Soekaboemi. Perlu diketahu Andris de Wilde ini juga adalah seorang Preanger Planter (kopi dan teh) yg bermukim di Bandoeng, dimana eks rumah tinggal dan gudang kopinya sekarang dijadikan Kantor Pemkot Bandung.

Awalnya ia mengirim surat kepada kawannnya Pieter Englhard mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mengganti nama Cikole (berdasar nama sungai yg membelah kota Sukabumi) dengan nama Soekaboemi 13 Januari 1815. Dan sejak itulah Cikole resmi menjadi Soekaboemi. Kata Soekaboemi berasal dari bahasa Sunda soeka-boemen yang bermakna udara sejuk dan nyaman, dan mereka yang datang tidak ingin pindah lagi karena suka dengan kondisi alamnya. Namun, bukan berarti hari jadi Kota Sukabumi jatuh pada tanggal tersebut.

Ceritanya memang tidak singkat, bermula dari komoditas kopi yang banyak dibutuhkan VOC, Van Rie Beek dan Zwadecroon berusaha mengembangkan lebih luas tanaman kopi disekitar Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Tahun 1709 Gubernur Van Riebek mengadakan inspeksi ke kebun kopi di Cibalagung (Bogor), Cianjur, Jogjogan, Pondok Kopo, dan Gunung Guruh Sukabumi. Dan inilah salah satu alasan dibangunnya jalur lintasan kereta-api yg menghubungkan Soekaboemi dengan Buitenzorg dan Batavia di bagian barat dan Tjiandjoer (ibukota Priangan) dan Bandoeng di timur.

Saat itu, de Wilde adalah pembantu pribadi Gubernur Jenderal Daendels dan dikenal sebagai tuan tanah di Jasinga Bogor. Pada 25 Januari 1813, ia membeli tanah di Sukabumi yang luasnya lima per duabelas bagian di seluruh tanah yang ada di Sukabumi seharga 58 ribu ringgit Spanyol. Tanah tersebut berbatasan dengan Lereng Gunung Gede Pangrango di sebelah utara, Sungai Cimandiri dibbagian selatan, lalu di arah barat berbatasan langsung dengan Keresidenan Jakarta dan Banten dan di sebelah Timur dengan Sungai Cikupa.

Pada 1 April 1914, Sukabumi diangkat statusnya menjadi Gemeente. Alasannya, di kota ini banyak berdiam orang Belanda dan Eropa pemilik perkebunan (Preanger Planters) di daerah Selatan dan harus mendapatkan kepengurusan dan pelayanan yang istimewa. Pada tanggal yang sama 354 tahun yang lalu, Belanda bangga memenangkan perang melawan Spanyol. Itulah mengapa tanggal 1 April dijadikan ulang tahun Kota Sukabumi. Kemudian 1 Mei 1926 pemerintahan kota dibentuk dan diangkat Mr. GF. Rambonet sebagai burgemeester (wali kota) pertama di Sukabumi.

Sejarah Sunda

Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.

Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, dll.

 

 

Kronologi Sejarah Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali (“Sungai Pamali”, sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.

 

 

Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.’

 

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

 

Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa

 

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).

 

Sejarah

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar. Kurang lebih adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

 

Kerajaan kembar

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.

 

Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.

 

 

Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.

 

Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.

 

Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.

 

Tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.

 

Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.

 

Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.

 

Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).

 

Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).

 

Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.

 

Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.

 

Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).

 

RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.

 

Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).

 

Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).

 

Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042).

 

Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.

 

Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya — Niskalawastukancana — masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).

 

Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.

 

Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.

 

Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).

 

 

Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.

 

 

Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan.

 

 

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Prabu Guru Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

 

Pemerintahan berdaulat

 

Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

 

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

 

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

 

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri, julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

 

Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.

 

Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.

 

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

 

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

 

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

 

Raja-raja Kerajaan Sunda dari Salaka Nagara s/d Sumedang Larang

Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):

 

Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman – Linggawarman, 150 – 669).

0. Dewawarman I – VIII, 150 – 362

1. Jayasingawarman, 358-382

2. Dharmayawarman, 382-395

3. Purnawarman, 395-434

4. Wisnuwarman, 434-455

5. Indrawarman, 455-515

6. Candrawarman, 515-535

7. Suryawarman, 535-561

8. Kertawarman, 561-628

9. Sudhawarman, 628-639

10. Hariwangsawarman, 639-640

11. Nagajayawarman, 640-666

12. Linggawarman, 666-669

 

 

Periode Kerajaan Galuh – Pakuan – Pajajaran – Sumedang Larang

 

1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)

2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)

3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)

4. Rakeyan Banga (739 – 766)

5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)

6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)

7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)

8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)

9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)

10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)

11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)

12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)

13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)

14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)

15. Munding Ganawirya (964 – 973)

16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)

17. Brajawisésa (989 – 1012)

18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)

19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)

20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)

21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)

22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)

23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)

24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)

25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)

26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)

27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)

28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)

29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)

30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)

31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)

32. Prabu Bunisora (1357-1371)

33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)

34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)

35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)

36. Prabu Surawisésa (1521-1535)

37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)

38. Prabu Sakti (1543-1551)

39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)

40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)

Sumber:

– Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, tahun 2007.

– Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000

– Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.

– Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.

– Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1

– Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

Bedah Buku ”Kasundaan-Rawayan Jati”: mengenal pandangan hidup orang Sunda

Artikel Pikiran Rakyat édisi 4 Méi 2004

Dalam konsep rawayan jati, berbagai agama atau penghayat kepercayaan dapat diakrabkan dengan pandangan hidup orang Sunda, kecuali ateisme. Istilah rawayan jati semakna dengan shirath, tao, intelek kosmos, atau konsep sangkan paraning dhumadi dari teologi Jawa, yaitu kesadaran religius manusia di dunia, dari mana awal dan ke mana akhir keberadaannya.

Demikian antara lain catatan yang disampaikan staf pengajar Universitas Pasundan, Hidayat Suryalaga dalam bedah buku “Kasundaan-Rawayan Jati” di Unpas, belum lama ini. Hadir sebagai pembahas antara lain, Koordinator Kopertis Wilayah IV Tresna Dermawan, dosen senior Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Saini KM, dan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Djawad Dahlan.

Hidayat menulis buku ”Kasundaan Rawayan Jati” dengan tujuan mencari dan memahami konsep pandangan hidup orang Sunda, yaitu mulih ka jati mulang ka asal, congo nyusup dina puhu atau dalam terminologi Islam inalillahi wa ina ilaihi raji’un. Hidayat dengan pemahamannya sebagai Muslim, mencoba mengakrabkan alur teologi agama Islam dengan pendekatan moral, mengingat mayoritas orang Sunda adalah Muslim.

“Indikator yang digunakan adalah alur teologi Islam dengan pendekatan moral. Kesimpulan yang didapat, ternyata teologi yang tercermin dalam pandangan hidup orang Sunda adalah monoteisme atau Sanghiyang Tunggal, Nu Maha Ngersakeun,” jelasnya.

Dibandingkan dengan konsep penemuan moral dari Jurgen Habermans dan Lawrence Kohlberg dalam buku “Etika Jawa” yang menyebutkan, pencarian kesadaran religi terdiri dari 7 strata, dalam konsep Sunda ada yang kedelapan. “Strata religi kedelapan yang tengah ditapaki adalah agama Islam yang saya sebut dengan religi causa ultima prima,” ujarnya.

Agama Islam berperan sebagai lokomotif peradaban manusia yang bermartabat untuk mencapai innalilahi wa inna ilaihi raji’un, yang menghela gerbong-gerbong kesadaran religi setiap insan dalam meniti rawayan jati-nya. Adapun rantai kaitan gerbong-gerbong itu adalah akhlak muslim yang mulia. “Semoga saja Sang Lokomotif tidak berubah fungsi menjadi buldozer yang menyeruduk ke sana-kemari, dan menimbulkan kerusakan di dunia,” harapnya.

Ia berpendapat, metode bersosialisasi yang nyunda ada tiga aspek yaitu silih asih atau silaturahim yang bening, silih asah atau saling mencerdaskan akal pikiran lahir batin, dan silih asuh atau sadar posisi, proporsional dan profesional. Indikator keberhasilannya adalah manusia Sunda anu cageur, bageur, bener, pinter, wanter, teger, pangger, singer, cangker. (A-56)***

Halo dunia!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.